Judul : Problematika Pendidikan di Indonesia
link : Problematika Pendidikan di Indonesia
Problematika Pendidikan di Indonesia
1. Minimnya Sarana dan Prasarana Penunjang Pendidikan
Sampai saat ini 88,8 persen
sekolah di indonesia mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar
pelayanan minimal.[3] Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan
mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku
pelajaran dan pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada jenjang Sekolah
Dasar (SD) baru 3,29% dari 146.904 yang masuk kategori sekolah standar
nasional, 51,71% katekori standar minimal dan 44,84% dibawah standar pendidikan
minimal. pada jenjang SMP 28,41% dari 34.185, 44,45% berstandar minimal dan 26%
tidak memenuhi standar pelayanan minimal. Hal tersebut membuktikan bahwa
pendidikan di indonesia tidak terpenuhi sarana prasarananya.
Dari data diatas menggabarkan
bagaimana lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam
mengembangkan diri. Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar
mengalokasikan kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif,
misalnya tawuran antar pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya
meresahkan masyarakat. Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana dan
prasaranan pendidikan yaitu:
a. Rendahnya Mutu Output Pendidikan
Kurangnya sarana pendidikan ini
berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri, sebab di era
globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang membutuhkan
sarana dan prasaranan yang sangat kompleks agar dapat bersaing dengan pasar
global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya belajar secara
teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar dalam
angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya.
Ironisnya pemerintah kurang
mendukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas pendidikan.
Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang pendidikan
lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis teknologi ini.
Kerusakan sekolah merupakan masalah klasik yang cenderung dibiarkan
berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi permainan politik
disaat pemilu saja.
b. Kenakalan Remaja dan Perilaku yang Menyimpang
Secara psikologis pelajar adalah
masa transisi dari remaja menuju kedewasaan diamana didalamnya terjadi
gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang sagat tinggi. Jika
lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan
cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk
negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya laboratorium,
perpustakaan, ataupun peralatan edukatif
saja, tetapi juga sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan
diri mereka.
Kehidupan remaja diera modern ini
tentulah berbeda dengan kehidupan pada generasi sebelumnya, pelajar saat ini membutuhkan ruang gerak
dalam pengembangaan kematangan emosi misalanya saja grup band, sepak bola,
basket, otimotif dan sebagainya. Jika hal ini tidak dipenuhi ataupun dihambat
maka akan cenderung membuat perkumpulan-perkumpulaan yang cenderung menyalahi
norma.
Di indonesia sendiri masih banyak
sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki sarana penyaluran emosi ini, di UIN
Sunan Kalijaga misalnya hanya terdapat tenis indor, lapangan futsal itupun
tersedia digunakan seara inklusif untuk ornag-orang tertentu saja.
2. Kontradiksi-Kontradiksi dan Kakunya Kurikulum Pendidikan
Dalam rangka mengatur dan
mengendalikan pendidikan yang sangat kompleks dibutuhkan suatu batasan dan
aturan dalam mengawasi mutu pendidikan suatu negara. Indonesia sebagai negara
yang sedang berkembang membutuhkan data yang tepat mengenai tingkat mutu
pendidikan sebagai alat untuk merancang arah pembangunan bangsa. Sehingga
pemerintah berusaha meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan
standar-standar pendidikan agar dapat mempermudah negara dalam melakukan
pembangunan.
Kurikulum pendidikan merupakan
salah satu realisasi penjamin berjalannya mutu pendidikan. kurikulum merupakan
program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses
akumulasi pengetahuan antar generasi dalam masyarakat.[4] Maksud baik
pemerintah ini ternyata kurang sesuai dengan kultur dan perkembangan zaman,
dikarenakan kurikulum yang sekarang dijalankan masih berbasis pada langkah
teoretis dan cenderung mengesampingkan nilai praksis pendidikan. Kurikulum yang
sekarang digunakan dalam proses belajar tidak jauh berbeda dengan zaman
penjajahan belanda, dimana proses pendidikannya hanyalah dalam langkah teoretis
dan cenderung mencetak tenaga kerja.
Standar pendidikan berupa Ujian
Nasional (UN) dengan maksud menyamaratakan nilai kemajuan dari sabang sampai
merauke ini justru menimbulkan ketidak adilan baru, di daerah timur Indonesia
yang sangat jauh dari standar minimal itu dipaksa mengikuti standar jakarta
ataupun jawa yang notabene lebih memiliki sarana pendidikan. Belum lagi kecurangan-kecurangan
pendidikan dalam ujian nasional. Penentuan kelulusan yang hanya ditentukan
waktu kurang dari satu minggu mendapat banyak kecaman dari masyarakat, dengan
alasan pemaksaan nilai tersebut bukanlah ukuran kemajuan pendidikan justru
menimbulkan tekanan batin dan kecurangan-kecurangan dalam pendidikan.
Kurikulum pendidikan indonesia
kurang mengajarkan sikap kritis dan kreatif dan cenderung bersifat mendoktrin
pelajar. Selain itu kurikulumnya lebih bersifat mencetak pekerja daripada
menumbuhkan pembuat pekerjaan (interprener). Hal itu dibuktikan dengan superioritas
guru terhadap pelajar, sehingga proses belajar bukannya transformasi melainkan
doktrinasi.
Dampak yang paling nyata dari
rancun dan kakunya kurikulum pendidikan ini adalah pengangguran terdidik yang
semakin meningkat. Menurut data ??. hal ini mengindikasikan bukanlah
transformasi ilmu melainkan doktrianasi ilmu
3. Pendeskreditan Moralitas
Pendidikan moralitas merupakan
suatu hal yang sangat pendting dalam mendukung pembanguanan suatu bangsa
sebagai alat untuk mengimbangi globalitas dan degradasi norma dalam masyarakat.
Bahkan Durkheim mengkaji moralitas
sebagai kajian pokoknya. Moralitas tentunya tidak akan hilang dari masyarakat
melainkan moralitas hanya berubah dari suatu bentuk kebentuk lainnya, namun
jika bentuk tersebut kacau maka akan cenderung menghambat perkembangan
masyarakat.
Dalam perjalanannya banyak kasus
moralitas dalam pendidikan indonesia, kasus kekerasan iini tidak hanya
dilakukan sesama murid ironisnya guru juga melakukan kekerasan secara fisik
kepada murid sebaimana diberitakan dimedia massa. Tentunya kekerasan ini
mengganggu perkembangan secara psikologis pelajar dan mendorong legalisasi
kriminalitas dan kekerasan kepada siswa yang. Misalnya saja kasus IPDN, dengan
alasan meningkatkan disiplin senior diberi kewenangan untuk menyiksa juniornya
yang telah menyebabkan banyak hilangnya nyawa seperti klif muntu. Sehingga
pendidikan moral, baik menggunakan instrumen agama ataupun sosialisasi
moralitas seperti menanamkan sifat disiplin, jujur, kreatif, dan sebagainya
secara partisipatif sangat diperlukan.
4. Liberalisasi Pendidikan
Jika kita melihat sejarah
kebelakang, sebenarnya liberalisme merupakan tahap perkembangan lanjut dari
penjajahan negara-negara maju kepada negara dunia ketiga. Dalam sejarah
domonasi eksploitasi ini dibagi dalam
tiga fase. Fase pertama disebut dengan masa kolonialisme yang ditandai dengan
ekspansi secara fisik kapitalisme di eropa untuk memastikan perolehan bahan
baku. Fase kedua disebut masa neokolonialisme dimana penjajah tidak lagi
mencengkram secara fisik melainkan secara substantif melalui teori dan proses
perubahan sosial, yaitu dengan mendekte atau mengintervensi kebijakan ekonomi,
sosial dan politik yang cenderung merugikan negara bekas koloni. Fase yang
ketiga adalah masa liberalisasi yaitu dengan memberlakukan perdagangan bebas
dalam lingkup global tanpa melihat kondisi negara berkembang yang masih buta
teknologi, sehingga liberalisasi cenderung menguntungkan negara-negara maju.
Perkawinan antara globalisasi dan liberalisasi ini menimbulkan
monopoli-monopoli perusahan besar TNC
(Trans Nasional Coorporation) TMC (Trans Multinational Coorporations).
Ironisnya bukan hanya ekonomi
saja yang mengalami liberalisasi, kesehatan bahkan pendidikan tidak luput dari
liberalisasi yang menjurus pada komersialisasi pendidikan. Dengan landasan
mengikuti “Konsesus Washington” pemerintah membiarkan dan melepas tanggung
jawab sebagai penjamin hak memperoleh pendidikan sebagaimana yang diamanatkan
oleh UUD 1945.
Bentuk pelepasan tanggung jawab
ini dapat dilihat dalam peraturan presiden 1ndonesia no 77 tahun 2007, tentang
Daftar Bidang Usaha yang Tertup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan Dibidang Penanaman Modal atau biasa disebut BHP pendidikan (Badan
Hukum Pendidikan). Dalam peraturan disebutkan bahwa pendidikan dasar, menengah,
pensisikan tinggi dan pendidikan nornformal dapat dimasuki oleh modal asing
dengan batasan kepemilikan modal maksimal 49 persen. Ini indikasi jelas bahwa
telah terjadi komersialisasi pendidikan sebagai komunitas dagang atas nama
liberalisasi.
Liberalisasi pendidikan tanpa
melihat kondisi objektif masyarakat indonesia yang sebagaian besar tidak miskin
ini, justru menjerumuskan rakyat kepada kebodohan. Pendidikan tak ubahnya
menjadi sarana mobilisasi dalam merebutkan kekayaan dan mempertahankan status
quo bagi orang-orang yang kaya. Akibat liberalisasi pendidikan ini tentunya
rakyat miskin tidak mampu membiyayai pendidikan, sehingga dapat dikatan
liberalisasi dan sahamisasi pendidikan ini adalah suatu bentuk kebijakan
pembodohan massal terhadap rakyat. Lalu mau dikemanakan masyarakat miskin jika
pendidikan semakin mahal?
dikutif dari : sosiologimarxis
Demikianlah postingan
Artikel,
Pendidikan,
Problematika Pendidikan di Indonesia kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. Oke, See you di postingan berikutnya.
Anda telah membaca Artikel, Pendidikan, Problematika Pendidikan di Indonesia dari link https://alamsyah029.blogspot.com/2014/04/problematika-pendidikan-di-indonesia.html
Post a Comment