Judul : Agrowisata Eptilu Garut
link : Agrowisata Eptilu Garut
Sensasi Petik Sendiri dan Ngaliwet di Tengah Perkebunan Jeruk
Memasuki kebun dan memetik jeruk seakan mengenang masa
kecil penulis yang sering menghabiskan waktu bermain di kebun jeruk, karena
ayah seorang petani jeruk; beragam varietas jeruk ada di kebun, setidaknya ada
4 varietas yang ditanam saat itu; Keprok (jeruk Garut), Siem, Konde, dan Jeruk
Purut. Sebelum akhirnya, semua pohon jeruk di lahan seluas 120 tumbak tumbang
karena terjangkit virus pada tahun 1987 yang disebabkan semburan abu Gunung
Galunggung tahun 1982. Sejak itu perkembangannya terhambat, Jeruk Garut pun
tidak terdengar lagi gaungnya.
Pada puluhan tahun silam atau setidaknya 30-an tahun
yang lalu, jeruk merupakan salah satu ikon kabupaten Garut yang dijadikan produk
unggulan, dan menjadi salah satu unsur penyusun lambang pada logo pemerintahan.
Garut pada masa itu menjadi kota penghasil jeruk dengan jumlah tanaman mencapai
1,3 juta pohon, seperti ditulis oleh situs Pemerintah Kabupaten Garut
(garutkab.go.id).
Pada tahun 1999, setelah karam hampir 17 tahun,
pemerintah Kabupaten Garut mencanangkan kembali agar jeruk menjadi produk
unggulan dan menjadi salah satu subsektor tanaman pertanian karena prospektif
dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Pada tahun ke-4, seperti ditulis oleh
garutkab.go.id, pada masa penanaman, 500 pohon jeruk bisa menghasilkan
keuntungan hingga 39 juta.
Hal inilah yang dilakukan oleh H. Dikdik terhadap
kebun sayurnya seluas 1,2 hektar, disulap menjadi 800 pohon jeruk sejak 3,5
tahun yang lalu. Eptilu—nama kebun jeruknya, digagas oleh seorang petani sayur
tersebut bersama anaknya Rizal Fahreza sebagai pengembang, dan Akhmad seorang
peneliti. Eptilu sendiri merupakan akronim dari Fresh From Farm yang
menyesuaikan dengan lidah orang Garut, umumnya orang Sunda—F3 menjadi eptilu.
Sejak Pebruari 2017, Eptilu tidak hanya memproduksi
jeruk Siem yang dikawinkan dengan Jeruk Garut, juga membuka wisata edukasi
Petik Jeruk. Wisata Edukasi ini berkonsep seperti nama kebunnya Eptilu—Fresh
From Farm, bisa dinikmati langsung buah jeruk selagi masih segar karena baru
dipetik dari pohonnya.
Dasep, sang pengelola, menjadi penggagas wisata
edukasi petik jeruk setelah mengambil pelajaran dari tiga kali penyelenggaraan
event Nyaneut Festival yang diselenggarakan 3 tahun berturut-turut sejak 2014.
Melalui wisata edukasi ini, pengunjung juga bisa menikmati panganan khas
Priangan Timur seperti Teh Nyaneut/ teh Kejek, ubi, singkong, ganyong, talas,
kremes, bandrek, bajigur, atau kopi khas Garut. Setelah memetik jeruk,
pengunjung bisa mampir ke Saung Nyaneut yang berada di area kebun. Saung ini
menjadi pusat interaksi antara pengelola dan pengunjung dengan bangunan saung
paling luas. Di saung ini, pengunjung bisa membeli oleh-oleh cangkir dan piring
anyaman dari bambu yang langsung dibuat di area kebun.
Edukasi Petik Jeruk
Memetik jeruk yang benar adalah dengan meninggalkan
batang pada buah jeruk, sehingga kulit jeruk tidak menempel pada pohon jeruk.
Menurut Dasep, cara memetik yang benar adalah dengan memotong dan meninggalkan
batangnya sepanjang dua centimeter pada buahnya. Cara memetiknya pun bukan
dengan dipetik menggunakan tangan, tetapi dipotong menggunakan gunting. Dengan
begitu, pohon jeruk akan terhindar dari jamur. Karena jika kulit jeruk masih
menempel pada batang, pohonnya akan terkena jamur dan mengganggu sistem imun
pohon. Jika jeruk sudah terkena jamur biasanya akan mengganggu dan menghambat
proses pembuahannya.
Oleh karena itu, setiap rombongan pengunjung akan
didampingi oleh seorang guide untuk menunjukan cara memetik yang benar. Selain
untuk menunjukan area mana saja yang boleh dipetik buahnya. Karena tidak semua
pohon bisa dipetik, agar jeruknya tidak habis dalam satu waktu. Ini menjadi
salah satu taktik dari pengelola, walaupun bukan musimnya, pengunjung tetap
bisa menikmati wisata petik jeruk.
Pengelola menerapkan disiplin dalam pemetikannya,
sehingga berdampak hasil yang maksimal. Pohon jeruk yang berumur 3,5 tahun
tersebut, selama satu tahun terakhir sejak panen pertama pada Bulan Juni 2016
terus berbuah sepanjang bulan hingga Juni 2017. Proses pembuahan kembali
setelah masa petik oleh pengunjung ditunjukan oleh Haji Dikdik selaku pemilik
yang hadir di area wisata. Tunas-tunas yang tumbuh pasca petik menjadi ciri
jika pohon jeruk yang ditanamnya berbuah sepanjang masa. Proses tumbuh tunas
ini dialami oleh semua pohon jeruk yang telah dipetik. Padahal jeruk merupakan
tanaman musiman. Yang akan berbuah pada musim/ bulan tertentu saja seperti halnya
rambutan atau mangga. Pengelola pun tidak kehilangan muka jika setiap harinya
pengunjung terus berdatangan untuk merasakan jeruk fresh from farm.
Untuk edukasi wisata petik ini, Dasep membedakan dua
jenis pengunjung, yaitu pengunjung umum atau keluarga dan jenis wisatawan dari
perguruan tinggi khususnya dari program studi pertanian. Untuk pengunjung umum,
edukasi hanya sebatas pada cara pemetikan yang benar. Sedangkan untuk
pengunjung dari perguruan tinggi atau yang berniat observasi, edukasi dilakukan
secara mendalam; cara okulasi, penanaman, pengetahuan tentang varietas jeruk,
pengetahuan tentang hama atau virus jeruk dan lain sebagainya.
Untuk petik jeruk, pengunjung hanya diperbolehkan
memetik seberat 1 kg/ orang. Pengelola akan membekali keranjang dan gunting dan
di arahkan ke area yang boleh dipetik.
Makan Liwet di Kebun Jeruk
Setelah buka pada bulan pertama dan langsung diliput
oleh salah satu televisi swasta nasional, peminat wisata petik jeruk ternyata
banyak yang berasal dari luar Garut khususnya Bandung, jakarta dan sekitarnya.
Yang awalnya hanya petik jeruk sambil ngemil panganan khas, ternyata pengunjung
juga banyak yang menanyakan makanan berat. Dengan konsep manajamen keluarga,
akhirnya sang Ibu ikut terjun sebagai juru masak.
Makanan berat yang disediakan adalah masakan khas
sunda yaitu nasi liwet, gepuk, dendeng, ayam goreng, ikan goreng, tumis-tumisan
diantaranya kangkung dan genjer, juga goreng petai, jengkol, asin peda, jambal
roti, dan lainnya.
Setelah pengunjung menikmati hijaunya kebun dan
memilih milah jeruk yang paling segar untuk dipetik. Pengunjung beristirahat di
saung sambil menikmati Nasi Liwet dengan segala jenis lauknya. Oleh karena itu,
karena konsepnya wisata keluarga, ada batas maksimal agar pengunjung bisa
menikmati wisata ini, yaitu minimal 5 orang. Hal ini menyesuaikan dengan luas
saung yang disediakan pengelola.
Jika pembaca pernah menyaksikan/ menonton Nyaneut
Festival (tulisannya pernah dimuat di Pikiran Rakyat edisi 6 Januari 2016),
nasi liwet ini pernah dinikmati oleh pengunjung. Dengan khas taburan kentang
dan teri medannya yang terasa gurih. Setelah bercape-cape memetik jeruk,
pengunjung bisa dengan lahap menyantap liwet khas Nyaneut tersebut. Ayam Goreng
dan Sambal khas Nyaneut menambah selera makan penulis. Apalagi jika lauknya
diganti goreng ikan mas atau nila yang khas dari kolam ikan Cikajang hmm tentu
akan menambah selera.
Sebelum makan kita cicipi terlebih dahulu jeruk Garut
yang fresh from farm, agar memenuhi sunah Nabi, selesai makan juga cuci
mulutnya dengan rasa manis jeruk yang ada asam-asamnya. Segar jeruknya,
pemandangannya, juga alamnya.
Wisata Berbasis Pemberdayaan
Sejak Festival Nyaneut pertama, Dasep yang aktif di
Asgar Muda, sudah memiliki konsep visi pemberdayaan. Usaha pertama yang
dijalaninya saat itu adalah anyaman yang dibuat dari akar wangi. Banyaknya
limbah di sekitar Randu Kurung Samarang dan Bayongbong menginspirasinya membuat
handmade dari akar wangi seperti berbagai macam tas untuk keperluan wanita. Ia
memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di sekitar limbah tersebut. Mereka diajari
bagaimana menganyam, diberikan alat dan bahannya lalu hasilnya dipasarkan oleh
Dasep.
Walaupun tidak berlanjut dengan anyaman akar wanginya,
visi pemberdayaannya diterapkan pada penyelenggaraan festival nyaneut dan
Wisata Petik Buah Jeruk. Melalui Warung Nyaneut yang eksis di area kebun,
panganan ringan seperti disebutkan di atas termasuk piring anyaman dan cangkir
bambu merupakan hasil kreasi masyarakat Situ Gede Cigedug yang menjadi tempat
tinggal keluarga jebolan STT Tekstil tersebut.
Setelah sukses mendatangkan pengunjung sedikitnya
250-300 orang per hari pada masa liburan dan rata-rata 50 orang per hari pada
masa kerja. Dasep berencana mengintegrasikan Kebun Jeruk milik ayahnya dengan
pemberdayaan warga. Tahun Depan, Kebun Jeruk Eptilu akan diperluas, selain di
wilayah Cikajang, juga di Wilayah Cigedug Bayongbong tepat di bawah kaki Gunung
Cikuray tempat Festival Nyaneut diselenggarakan. Kebun tersebut kini sedang
dipersiapkan agar bisa menjadi destinasi wisata petik jeruk. Sehingga pada masa
pelaksanaan festival, Kebun Jeruk Eptilu akan terintegrasi dengan kegiatan
Nyaneut Festival.
Lokasi dan Biaya
Bagaimana agar pengunjung dapat menikmati wisata petik
jeruk dan makan liwet di area kebun jeruk? Berapa biayanya? Dan menggunakan
kendaraan apa agar bisa sampai ke lokasi?
Kebun Eptilu berada di kawasan Cikajang-Garut, sekitar
30 km dari Garut Kota atau sekitar 45 menit perjalanan menggunakan sepeda
motor. Jika menggunakan angkutan umum jurusan Terminal Guntur – Cikajang
ongkosnya Rp.10.000,- dengan waktu perjalanan kurang lebih satu jam.
Untuk rutenya, jika menggunakan kendaraan pribadi,
dari arah Bandung bisa melalui jalur normal yaitu dari arah Tarogong menuju
Jalan Otto Iskandar Dinata menuju Bayongbong dan lanjut ke Cikajang. Bisa juga
melalui jalur Jalan Tarogong-Samarang, dari arah Bandung kendaraan diarahkan ke
arah Tarogong-Samarang menuju Simpang dan menuju ke Cikajang.
Lokasi Kebun Jeruk Eptilu tepat berada di Kampung
Leuwi Lereng, berada tepat sebelum Panyingkiran Cikajang. Jika berangkat dari
daerah Garut posisinya berada di sebelah kiri Jalan. Di pinggir jalan menuju
kebun terdapat Plang Kebun Eptilu, Fresh From Farm. Seorang Bapak tua yang
berprofesi sebagai tukang parkir akan mengarahkan kendaraan pengunjung menuju
area kebun. Tempat parkir dikelola masyarakat setempat dengan karcis resmi dari
yayasan setempat sejumlah Rp.3.000 untuk kendaraan roda dua, sedangkan roda
empat membayar portal Rp. 10.000.
Sedangkan biaya petik jeruk per kilonya dihitung Rp.
20.000. Tidak ada biaya masuk. Saat memasuki kebun, ada petugas yang menyambut
dan mengarahkan ke kasir untuk pemesanan saung jika mau makan di saung.
Pemesanan tempat juga bisa dilakukan melalui Whatsapp pengelola.
Sedangkan untuk harga paket liwet yang terdiri dari
nasi liwet, ayam goreng, sambal, tahu, tempe mendoan, dan ikan asin peda merah
dihargai Rp.33.000 satu porsinya. Untuk tumis-tumisan dan goreng jengkol atau
petai harga rata-rata Rp.10.000,-. Jika dibandingkan dengan rumah makan sunda
lain, cukup murah apalagi dengan nasi liwet berporsi lapar, satu kastrol besar
cukup untuk 6-8 anggota keluarga.
ref : pressreader
Post a Comment